Siapa yang tidak kenal dengan nasi jamblang, makanan khas Cirebon yang seringkali menjadi buruan pencinta kuliner. Ternyata, nasi jamblang ini berasal dari Desa Jamblang, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon.
Desa Jamblang sendiri terletak di bagian barat Kabupaten Cirebon dan memiliki cerita tersendiri mengenai sejarah awal mula terbentuknya desa tersebut.
Budayawan Cirebon, Raden Chaidir Susilaningrat menuturkan Desa Jamblang memiliki sejumlah sejarah pada awal terbentuknya. Lebih lanjut kata dia, usia Desa Jamblang sendiri hampir seusia dengan Cirebon. Hal ini ditandakan dengan adanya sejumlah peninggalan bangunan salah satunya klenteng yang ada di Desa tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejarah Desa Jamblang hampir sama dengan usia Cirebon, Karena Desa Jamblang merupakan pemukiman warga Tionghoa tertua yang ada di Cirebon, karena di sana ada klenteng," ucap dia saat ditemui detikJabar, Senin (13/11/2023).
Dijelaskannya, kawasan Cirebon sejak abad ke-8 sudah disinggahi oleh kapal-kapal Tiongkok. Salah satu yang populer adalah ekspedisi ekspedisi Laksamana Cheng Ho atau Zheng He pada abad ke-15 di Cirebon.
"Puluhan kapal Cheng Ho berlabuhnya di Pelabuhan Muara Jati, dan mereka tidak hanya melawat ke Cirebon, sebagian orang dari ekspedisi itu juga ada yang tinggal dan bermukim di Cirebon," jelasnya.
Pada zaman itu, sebagian dari orang Tionghoa yang memilih tinggal di Cirebon melakukan perjalanan ke beberapa tempat. Salah satunya ke Desa Jamblang yang lokasinya bagian barat Cirebon. "Orang Tionghoa yang datang ke Cirebon menjelajah dan akhirnya menemukan tempat bermukim, salah satunya di kawasan Jamblang," terangnya.
Meskipun demikian, sejak zaman dahulu masyarakat Cirebon dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Salah satunya masyarakat Desa Jamblang yang sangat menghargai orang asing hingga akhirnya warga Tionghoa tersebut sangat nyaman tinggal di Desa Jamblang. "Dari dulu orang Cirebon sangat menghargai dan menerima orang Tionghoa. Bukan cuma itu aja, sejak dahulu masyarakat Cirebon menerima juga kedatangan orang Arab dan melayu," kata dia.
Pemberian nama Desa Jamblang itu sendiri, lanjut dia, diambil dari nama pohon buah Jamblang. Karena lokasi tersebut merupakan habitat dari pohon buah Jamblang.
"Dinamakan Jamblang karena diambil dari pohon buah Jamblang. Karena dulu desa-desa yang di Cirebon mayoritas diberi nama sesuai habitat pepohonan," ungkapnya.
Melihat sejarah itu, maka tidak heran Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon berencana akan menciptakan wisata sejarah di Desa Jamblang dan sekitarnya. Pasalnya ada sejumlah lokasi yang bisa dijadikan sebagai destinasi wisata, seperti bangunan-bangunan tua (heritage) yang dianggap memiliki nilai sejarah diantaranya Klenteng. Selain itu, juga terdapat sentra kerajinan gerabah yang berlokasi di Desa Sitiwinangun yang lokasinya tidak jauh dari Desa Jamblang.
Nasi Jamblang, kuliner legendaris khas Cirebon, Jawa Barat (Foto: Instagram/@toekangmakan)
NASI jamblang merupakan sajian nasi lengkap khas Cirebon, Jawa Barat. Hidangan ini biasanya berupa nasi putih yang dibungkus dengan daun.
Masyarakat Cirebon biasanya menyebutnya sega jamblang. Sajian ini tidak hanya populer di Cirebon saja, untuk berbagai kawasan di Jawa Tengah dan sekitarnya juga terkenal dengan nama sego jamblang.
Mengulik asal-usulnya, nasi jamblang berasal dari desa sebelah barat Kabupaten Cirebon, yang merupakan desa asal pedagang yang mempopulerkan kuliner ini. Nasi jamblang muncul sekitar tahun 1847.
Kala itu, pemerintah kolonial Belanda sedang membangun tiga pabrik, yakni dua pabrik tebu di Plumbon dan Gempol, serta satu pabrik spiritus di Palimanan.
(Foto: Instagram/@jamblangmbakdiyani)
Berdirinya pabrik-pabrik tersebut banyak menyerap tenaga kerja dari berbagai wilayah. Para pekerja yang rumahnya jauh seperti dari Sindang Jaya, Cisaat, Cimara, Cidahu, Cinaru, Bobos, dan Lokong harus berangkat kerja sejak pagi buta dengan berjalan kaki.
Para buruh pabrik tersebut pun kesulitan mencari makan untuk sarapan karena pada saat itu belum ada warung-warung nasi seperti sekarang.
Hal itu dikarenakan masyarakat zaman dulu menganggap menjual nasi merupakan suatu hal yang dilarang atau pamali.
Lantaran merasa kasihan, seorang pengusaha asal Jamblang, H. Abdul Latief meminta istrinya Tan Piauw Lun atau alias Nyonya Pulung untuk menyediakan makanan bagi para pekerja berupa nasi dan lauk pauk secukupnya. Kemudian nasi tersebut dibungkus daun jati dan disajikan kepada pekerja pabrik. Jadilah makanan tersebut dinamakan nasi jamblang.
Meski namanya nasi jamblang, tapi hidangan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan pohon atau buah jamblang. Justru yang menjadi ciri khasnya adalah nasi yang dibungkus dengan daun jati.
Pasalnya, jika nasi dibungkus dengan daun pisang tidak dapat bertahan lama. Namun, dari itu nasi yang bungkus dengan daun jati ini, nasi bisa bertahan lama dan tetap terasa pulen.
Hal tersebut dikarenakan, daun jati memiliki pori-pori yang dapat membantu menjaga kualitas nasi jika disimpan dalam waktu yang cukup lama.
(Foto: Instagram/@andresanugraha)
Ada banyak lauk yang cocok disantap saat menikmati nasi jamblang ini. Seperti sambal, tahu goreng, tempe goreng, sate telur, sate kentang, ikan asin, semur dan masih banyak lainnya.
Nah, bila Anda ingin bernostalgia dengan nasi jamblang, langsung aja deh merapat ke Restoran Joglo Patheya-Legendary Javanese Cuisines di Jalan Kemang Utara Raya Nomor 22, Jakarta Selatan. Dijamin kerinduan Anda dengan cita rasa khas nasi jamblang akan terobati.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Salah satu tampilan variasi sega jamblang
Sega Jamblang atau Nasi Jamblang dalam Bahasa Indonesia) adalah makanan khas dari Cirebon, Jawa Barat, Indonesia. Nama Jamblang berasal dari nama daerah di sebelah barat Kabupaten Cirebon tempat asal pedagang makanan tersebut. Ciri khas makanan ini adalah penggunaan daun jati sebagai bungkus nasi. Penyajian makanannya pun bersifat prasmanan.[1][2]
Nama sega/sego jamblang konon berasal dari sebuah nama desa di sebelah barat Kabupaten Cirebon, yakni desa Jamblang, Jamblang, Cirebon. Walaupun bernama sega jamblang, makanan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan pohon atau buah jamblang.
Sega Jamblang adalah makanan khas Cirebon yang pada awalnya diperuntukan bagi para pekerja paksa pada zaman Belanda yang sedang membangun jalan raya Daendels dari Anyer ke Panarukan yang melewati wilayah Kabupaten Cirebon.[3]
Sega Jamblang saat itu dibungkus dengan daun jati, mengingat bila dibungkus dengan daun pisang kurang tahan lama sedangkan jika dengan daun jati bisa tahan lama dan tetap terasa pulen. Hal ini karena daun jati memiliki pori-pori yang membantu nasi tetap terjaga kualitasnya meskipun disimpan dalam waktu yang lama.[butuh rujukan]
Walaupun menunya sangat beraneka ragam, tetapi harga makanan ini relatif sangat murah. Karena pada awalnya makanan tersebut diperuntukan bagi untuk para pekerja buruh kasar di Pelabuhan dan kuli angkut di jalan Pekalipan.
Menu yang tersedia biasanya antara lain sambal goreng, tahu sayur, paru-paru (pusu), semur hati atau daging, perkedel, sate kentang, telur dadar/telur goreng, telur masak sambal goreng, semur ikan, ikan asin, tahu dan tempe. Namun salah satu menu yang menjadi ikon dari sega jamblang adalah balakutak hideung, yaitu cumi-cumi atau sotong berkuah kental yang dimasak bersama dengan tintanya sehingga berwarna hitam seperti rawon.
Nasi jamblang adalah makanan khas Cirebon berupa nasi dibungkus daun jati, disajikan secara prasmanan dengan beragam lauk pauk.
Soal kelezatan, sepertinya tidak diragukan lagi, nasi yang dibungkus daun jati ini sudah menjadi rujukan kuliner bila wisatawan berkunjung ke Cirebon.
Nasi jamblang, makanan khas dari daerah Cirebon, Jawa Barat, adalah hidangan yang memikat dengan cita rasa dan tradisi yang kaya.
Namun dari semua itu, sangat sedikit warga Cirebon yang mengetahui bahwa ternyata nasi jamblang ini diciptakan oleh seorang keturunan China, lho.
Yuk, ketahui lebih lanjut mengenai nasi jamblang di bawah ini!
Baca Juga: 8 Makanan Khas Papua yang Unik dan Lezat, Coba Yuk, Moms!
Di Balik Penggunaan Daun Jati
Foto: Nasi Jamblang (Istockphoto.com)
Daun jati dipilih oleh Nyonya Pulung sebagai pembungkus nasi jamblang karena daun jati bertekstur kasar dan tidak mudah sobek.
Tekstur itu membuat nasi yang sudah dibungkus tidak akan cepat basi walaupun terbungkus dalam waktu yang cukup lama.
Selain itu, para pekerja yang berasal dari wilayah Selatan Cirebon seperti Sindangjaya dan Cisaat menjadikan daun jati ini sebagai pelindung kepala di saat panas terik.
Daun jati juga digunakan sebagai pembungkus tempe di beberapa daerah.
Daun jati yang digunakan sebagai pembungkus nasi jamblang atau tempe itu miliki banyak manfaat...
Sega Jamblang atau Nasi Jamblang merupakan makanan khas dari Cirebon, Jawa Barat. Paling khas dari kuliner ini, nasinya dibungkus daun jati. Nasi pun jadi pulen. Nama Jamblang diambil dari nama daerah asal pertama sang penjual. Tidak ada kaitan dengan buah jamblang.
Jika mengunjungi Kota Cirebon, tidak lengkap tanpa wisata kuliner. Salah satu yang wajib dicoba adalah Sega Jamblang. Sajiannya, nasi dibungkus daun jati setiap porsinya. Satu porsi nasi umumnya satu kepal tangan. Jadi untuk sekali makan minimal dua bungkus nasi. Sedangkan aneka lauk disajikan secara prasmanan.
Paling tidak, 10 tahun terakhir, sepanjang jalan Pantura Cirebon, sampai masuk Kota Cirebon, sudah banyak dijumpai penjual Sega Jamblang. Baik yang berbentuk restoran atau tenda di pinggir jalan. Yang restoran umumnya juga menjual makanan khas Cirebon lainnya. Seperti Empal Gentong dan Sega Lengko.
Mereka menjajakan Sega Jamblang dengan konsep yang hampir sama. Meja ukuran besar ditempatkan di tengah. Di atasnya aneka lauk pauk yang diambil secara prasmanan oleh pembeli. Sedangkan nasi sudah dibungkus daun jati yang diletakkan di bakul berukuran besar.
Seorang pelayan akan menyajikan nasi yang dibungkus daun jati itu sesuai porsinya. Kemudian diberi sambel goreng. Setelah itu, pembeli baru bisa memilih menu lainnya secara prasmanan. Jika di warung tenda, pembeli duduk di bangku yang melingkari menu prasmanan. Kalau di restoran disediakan meja makan.
Di beberapa tempat, Sega Jamblang tidak menggunakan daun jati. Pakai kertas nasi. Alasannya, susah mendapatkan daun. Namun, tetap mayoritas masih setia mempertahankan daun jati. Selama ini, daun jati dipasok dari wilayah Cirebon dan sekitarnya. Seperti Majalengka, Indramayu, dan Kuningan.
Dari banyaknya penjual, ada beberapa lokasi yang akrab di telinga. Yakni, Nasi Jamblang Mang Dul di Jalan Cipto Mangunkusumo. Tepatnya di depan Grage Mal Cirebon. Ada juga Nasi Jamblang Pelabuhan, terletak di sebelah Taman Ade Irma Suryani, Pelabuhan Cirebon.
Lokasi lainnya adalah Sega Jamblang Bu Nur yang berada di Jalan Cangkringan, Kota Cirebon. Untuk harga cukup terjangkau. Rata-rata setiap item makanan dijual Rp 1000 sampai Rp 5000. Jadi, satu porsi makan antara Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu.
Lauk yang disajikan sebagai pelengkap Sega Jamblang banyak pilihannya. Mulai sambal goreng, tahu sayur, paru-paru, semur hati atau daging, perkedel, sate kentang, telur dadar atau telur goreng, semur ikan, ikan asin, tahu tempe, dan lainnya.
Dari sekian menu yang harus dicoba adalah sambel goreng. Cabai merah dengan rasa khas. Lainnya adalah balakutak hidueng. Makanan cumi-cumi atau sotong berkuah kental itu dimasak bersama dengan tintanya. Jadi masakan berwarna hitam seperti rawon.
Memang, sensasi nasi yang dibungkus daun jati, terasa. Nasi sangat pulen. Apalagi, sebelum disantap, nasi disiram kuah semur. Nendang di lidah. Pantas saja, ada warga Jakarta yang pertama kali makan Sega Jamblang, mengaku, nasinya bikin ngantuk saking pulennya. Jadi, wajib dicoba.
Sejarah Sega Jamblang
Jamblang berasal dari nama desa di sebelah barat Kabupaten Cirebon. Tempat asal pedagang yang mempopulerkan masakan tersebut. Sega Jamblang awalnya makanan para pekerja paksa pada zaman Belanda. Mereka sedang membangun Jalan Raya Daendels sepanjang 1000 kilometer dari Anyer ke Panarukan yang melewati wilayah Kabupaten Cirebon.
Pemilihan daun jati, karena para pekerja bisa menyimpan nasi lebih lama. Nasi yang dibungkus daun jati jadi awet dan bisa bertahan beberapa hari. Saat itu kabarnya banyak warga yang kelaparan, bahkan sampai meninggal, karena kekurangan makanan. Sejak itu, nasi dibungkus daun jati jadi populer di kalangan pekerja.
Daun jati memiliki tekstur yang tidak mudah sobek dan rusak. Daunnya memiliki pori-pori yang dapat membantu menjaga keadaan nasi agar tidak mudah basi. Meskipun disimpan dalam jangka waktu yang lama.
Pada sekitar 1847, bisa dikatakan menjadi cikal lahirnya Sega Jamblang. Saat itu, Belanda membangun tiga prabrik. Dua pabrik tebu di Plumbon dan Gempol. Satunya pabrik spriritus di Palimanan.
Dibangunnya tiga pabrik tersebut menyerap banyak pekerja. Mereka berasal dari Cirebon dan daerah sekitarnya. Seperti Sindangjawa, Cisaat, Cidahu, Bobos, dan lainnya. Para pekerja tersebut terus bertambah. Di sisi lain tidak ada penjual nasi di sana. Kepercayaan saat itu, tidak baik atau pamali jual nasi. Masyarakat saat itu lebih baik menyimpan beras daripada beli nasi.
Namun seiring waktu banyak pekerja mencari warung nasi. Sampai akhirnya tergerak wrga Jamblang bernama Ki Antara atau H Abdul Latif dan istrinya Ny Pulung atau Tan Piauw Lun. Keduanya bersodaqoh makanan untuk sarapan para pekerja tiap harinya. Mereka menggunakan daun jati untuk membungkus nasinya.
Dari mulut ke mulut informasi itu menyebar. Akhirnya banyak pekerja yang makan di sana. Meski awalnya gratis, para pekerja merasa tidak enak. Mereka pun sepakat memberikan sukarela untuk makanan yang mereka makan.
Dari sana lah Sega Jamblang akhirnya dijual oleh banyak orang. Tidak hanya warga Desa Jamblang, tapi warga Cirebon lainnya. Termasuk juga di kota besar seperti Jakarta, pengusaha Sega Jamblang berjualan. (K-IS)
Rasanya ada yang kurang lengkap bila berkunjung ke Cirebon tanpa mencicipi nasi jamblang. Itu sama halnya dengan bila berkunjung ke Yogyakarta tanpa merasakan makanan khasnya, yakni nasi kucing. Saat memasuki kota yang sering dikenal sebagai Kota Udang itu, dengan mudah wisatawan bisa menemui jajaran warung yang menjual nasi yang menjadi menu makanan khas kota tersebut. Penjual menu makanan yang sering disebut sega jamblang itu ada yang mangkal di warung dan adapula yang menjajakan keliling. Salah satu tempat kuliner yang dikunjungi Bisnis adalah Sega Jamblang Mang Dul, yang terletak di Jalan Ciptomangunkusumo, Cirebon. Nama Jamblang berasal dari nama daerah di sebelah barat Kota Cirebon, yakni tempat asal pedagang makanan tersebut. Ciri khas menu makanan tersebut adalah penggunaan daun jati sebagai bungkus nasi. Makanan pun disajikan secara prasmanan. Ketika Bisnis berkunjung ke tempat tersebut pada suatu pagi hari, beberapa pengunjung sedang asyik menikmati menu makanan itu yang dilengkapi lauk-pauk. Adapula sebagian pengunjung yang mengantre di meja prasmanan untuk memilih menu kesukaannya. Menu lauk-pauk yang tersedia di Mang Dul beraneka ragam, antara lain sambal goreng (yang memiliki agak manis), tahu sayur, paru, semur hati atau daging, perkedel, sate kentang, telur dadar, telur goreng, telur masak sambal goreng, semur ikan, ikan asin, tahu, tempe, dan tak ketinggalan balakutak, sejenis cumi-cumi yang dimasak bersama tintanya. Menurut catatan sejarah, awalnya nasi jamblang ini dibuat untuk para pekerja paksa (rodi) di zaman Belanda yang sedang membangun jalan raya Daendels dari Anyer ke Panarukan yang melewati wilayah Kabupaten Cirebon, tepatnya di Desa Kasugengan. Saat itu sega jamblang dibungkus dengan daun jati, mengingat bila dibungkus dengan daun pisang kurang tahan lama, sedangkan dengan daun jati bisa tahan lama dan tetap terasa pulen. Hal ini karena daun jati memiliki pori-pori yang membantu nasi tetap terjaga kualitasnya meskipun disimpan dalam waktu lama. Uniknya, akan lebih nikmat dimakan secara tradisional dengan 'sendok jari' dan alas nasi beserta lauk pauknya tetap menggunakan daun jati. Sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa pada nasinya, hanya nasi putih biasa yang harus didinginkan terlebih dahulu beberapa jam, baru setelah itu dibungkus dengan daun jati. Ukuran nasinya pun tidak terlalu banyak, hanya segenggaman tangan orang dewasa. “Kalau dibungkus pada saat panas akan membuat nasi berubah menjadi merah. Itu yang kami tidak mau. Biasanya setelah nasi matang, langsung dikipas dan diangin-anginkan. Hal ini bisa membuat nasi tahan lama,” jelas Umar (40), pengelola Warung Nasi Jamblang Mang Dul. Rumah makan tersebut menjadi salah satu tempat kuliner favorit bagi warga Cirebon dan para pendatang dari luar kota yang ingin mencicipi menu khas nasi jamblang. Setiap hari, sekitar pukul 06.00-08.00 pasti orang tengah berjubel menikmati nasi jamblang sebagai sarapan pagi. “Nanti biasanya ramai lagi sekitar jam makan siang,” tuturnya. Menurutnya, saat ini jumlah lauknya ada sekitar 20 macam. Harganya berkisar Rp800--Rp6.000. Meski sambalnya berwarna merah, sama sekali tidak pedas karena terbuat dari cabai merah besar, lalu diiris tipis-tipis, yang dicampur dengan bawang merah, serai, lengkuas, dan ditumis dengan minyak. Hanya makan dengan sambal saja, bisa tambah nasi berkali-kali lho.(hh)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Sejarah Nasi Jamblang
Foto: Nasi Jamblang (Pinterest.com)
Seperti halnya makanan khas Cirebon lainnya, nasi jamblang juga memiliki unsur sejarah yang mengakar di hati penduduk setempat.
Nasi jamblang sudah ada sejak era kolonial Belanda.
Awal mula sejarahnya, Belanda membangun tiga pabrik di kawasan Cirebon.
Pabrik gula di wilayah Gempol Palimanan dan Plumbon, serta Pabrik Spirtus di Palimanan.
Berdirinya pabrik-pabrik tersebut banyak menyerap tenaga kerja dari wilayah sekitar dan wilayah lainnya.
Para buruh yang rumahnya jauh seperti dari Sindangjaya, Cisaat, Cimara, Cidahu, Cinaru, Bobos, dan Lokong harus berangkat di pagi buta dengan berjalan kaki.
Para buruh tersebut kesulitan mencari makan untuk sarapan karena pada saat itu belum berdiri warung-warung nasi.
Masyarakat zaman dulu menganggap menjual nasi merupakan suatu hal yang dilarang atau pamali.
Ini dapat dimaklumi karena peredaran uang kala itu masih sedikit.
Karena iba, seorang pengusaha pribumi asal Jamblang, H. Abdul Latief meminta istrinya Tan Piauw Lun atau akrab disapa Nyonya Pulung untuk menyediakan sedekah makanan berupa nasi dan lauk pauk secukupnya.
Nasi itu dibungkus daun jati dan diberikan kepada buruh pabrik.
Berita pemberian sedekah dari Nyonya Pulung rupanya menyebar dengan cepat.
Permintaan sarapan bagi buruh pun semakin bertambah banyak.
Para buruh menyadari apa yang mereka makan merupakan sesuatu yang harus dibeli.
Untuk mengganti apa yang dimakan, para buruh bersepakat memberikan uang alakadarnya kepada Nyonya Pulung.
Kegiatan itu menjadi cikal bakal usaha warung nasi jamblang Nyonya Pulung.
Pada saat itu, lauk pauk nasi jamblang yang diperuntukkan bagi para buruh hanya ada tujuh macam, yaitu:
Saat ini warung Jamblang nyonya Pulung berganti nama menjadi Nasi Jamblang Tulen.
Kini bisnis turun temurun ini tetap dikelola dan berdiri dengan kesederhanaan dari generasi ke generasi dan menyebar ke seluruh Kota Kabupaten Cirebon.
Baca Juga: 15 Makanan Khas NTT, Ada Catemak Jagung hingga Sei Sapi